Konsep Perdamaian
Jumat, April 12, 2019
Secara sederhana, perdamaian dapat diartikan sebagai antitesis dari peperangan dan berakhirnya konflik kekerasan. Akan tetapi, menurut Hicks (dalam Fountain 1999) perdamaian bukan semata- mata tidak adanya kekerasan atau kekerasan terang-terangan (overt violence), tetapi juga mencakup wujud keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Artinya, perdamaian mengandung makna lebih dari tidak ada perang dan permusuhan (Miller 2005). Perdamaian merupakan suatu proses, memiliki banyak bentuk, dan perjuangan yang tidak pernah selesai untuk mentransformasikan kekerasan (Fisher et al. 2007) agar perdamaian selalu berada dalam nilai-nilai kemanusian yang tertinggi (Rummel 1981).
Galtung (1967:12-17) membagi perdamaian ke dalam dua kategori, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif, dengan merujuk kepada jenis kekerasan (kekerasan budaya, struktur dan kekerasan langsung). Perdamian negatif didefinisikan sebagai keadaan yang tidak terjadi kekerasan kolektif yang terorganisasi (absence of organized collective violence). Sementara itu, perdamaian positif didefinisikan sebagai keadaan adanya nilai-nilai yang secara relatif telah disepakati oleh masyarakat dunia, yaitu wujud kerja sama, bebas dari ketakutan, ekonomi tumbuh dan berkembang, tidak adanya eksploitasi, persamaan, keadilan, bebas bertindak, pluralisme, dan dinamisme. Lebih jauh, Ukaid (2010) mendefinisikan perdamaian positif sebagai keadaan yang melampaui fase kesepakatan damai dan berakhirnya perang. Hal itu ditandai dengan harmoni sosial, penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan adanya pembangunan sosial dan ekonomi yang didukung oleh lembaga-lembaga politik yang mampu mengurus perubahan dan menyelesaikan sengketa tanpa menggunakan konflik kekerasan. Sementara itu, Askandar (2006) menyatakan bahwa perdamaian positif adalah wujud kondisi aman dan damai di mana hak individu dan kelompok dihormati serta adanya saluran-saluran yang sesuai untuk menyampaikan pendapat dan pandangan. Kemudian, keadilan dipertahankan dan diperjuangkan, serta terdapat mekanisme, peraturan, prosedur, dan strategi untuk mengurus dan menyelesaikan isu-isu konflik. Lebih jauh lagi, Castro dan Galace (2008) menyatakan bahwa perdamaian positif adalah adanya hubungan yang adil dan tidak eksploitatif, baik antara sesama manusia maupun terhadap ekologi.
download: berkas
Sumber: Suadi Zainal. Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi. Dalam MASYAR AK AT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, Januari 2016 :81-108
Posting Komentar