Studi Tentang Integrasi Sosial

Jumat, April 12, 2019

Nazaruddin Syamsudin (1989)

Studi paling awal yang dilakukan oleh Nazaruddin Syamsudin (1989), tentang integrasi politik di Indonesia. Nazaruddin melakukan studi yang serius tentang factor-faktor yang mempengaruhi integrasi nasional di Indonesia. Menurut Nazaruddin, konsep integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua persoalan mendasar. “Pertama”, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan kepentingan Negara. “Kedua”, bagaimana meningkatkan consensus normatif yang mengatur tingkalaku positif masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Studi Nazaruddin banyak mengulas tentang gerakan-gerakan politik yang mengancam integrasi nasional yang terutama di bahas adalah PRRI, Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka yang kesemuanya didasari oleh kesetiaan terhadap kelompok primordial.

Erni Budiwanti 1996

Penelitian Erni Budiwanti 1996, tentang Minoritas Islam dalam perspektif integrasi nasional di Desa Pengayam Bali Utara. Menurut temuan Erni, sebetulnya setiap masyarakat biasanya memiliki mekanisme sosial untuk mendorong integrasi sosial pada masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan komunitas Muslim di Desa Pengayam yang mampu menyesuaikan diri dengan budaya Hindu Bali yang mayoritas. Mereka mampu menerima tradisi dan budaya Bali sebagaimana tercermin dalam nama-pertama maupun dalam jabatan-jabatan cultural di tingkat desa. Komunitas minoritas muslim Bali juga dapat menunjukkan penghormatan yang tinggi pada tradisi, kepercayaan dan berbagai taboo yang ada dalam kepercayaan masyarakat. Mereka, misalnya, turut memelihara suasana hening selama upacara Nyepi dan bergembira bersama dalam hari bersamaan seperti Galungan. Sementara itu beberapa penelitian terakhir yang berhubungan dengan integrasi sosial, misalnya yang dilakukan oleh Liber Siagian, Hedi Sri Ahimsa dan Syafiq Efendi di Kota Medan tentang integrasi sosial antar etnik dalam konteks ketahanan nasional pada tahun 2004. Berdasarkan penelitiannya, Liber dan kawan-kawannya berkesimpulan bahwa integrasi sosial yang terjadi dikota Medan merupakan hasil dari semangat toleransi yang terbangun dari komunikasi yang baik antar etnis-etnis yang berbeda di Kota Medan.

CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011)

Kajian yang sama juga pernah juga dilakukan oleh kelompok peneliti yang tergabung dalam Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. CSRC mempublikasikan hasil kajian yang berjudul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial yang menegaskan bahwa sebetulnya masih banyak praktik-praktik terbaik (best practices) dalam masyarakat Indonesia yang berhasil melindungi kekebasan beragama dan berkeyakinan yang mendorong terciptanya integrasi sosial yang lebih baik. Seperti tradisi Bela Baja di Pantar, Nusa Tenggara Timur yang mampu membentengi masyarakat dari provokasi yang ingin memecah belah umat Islam dan Kristen di sana. Atau praktik Pecalang di Bali yang berfungsi mengjaga ruma-rumah ibadah pada saat hari-hari besar agama lain. Kajian ini secara sepesifik ingin mempromosikan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.

S3-2014-306812-abstract

Secara umum teori utama yang dipilih untuk menjelaskan fenomena yang menjadi locus dalam penelitian ini adalah teori integrasi sosial dengan memanfaatkan beberapa konsep kunci dari Biku Parekh (2008) tentang nilai-nilai bersama (moral contract) dan Asutosh Varsney (2011) tentang civic engagement. Konseptualisasi dari dua konsep penting tersebut adalah sebuah pendekatan baru dalam integrasi sosial yang lebih demokratis. Untuk mendukung teori integrasi sosial, penulis juga memanfaatkan teori konflik dan konsensus dari Ralph Dahdrenrof (Ritzer, 2009) yang menyebutkan bahwa setiap masyarakat sebetulnya memiliki potensi konflik, namun kemampuan menemukan konsensus adalah jalan untuk menciptakan keseimbangan sosial. Sementara teori kontruksi dari Petter L. Berger dan Thomas Luckman (1990) serta teori reproduksi sosial dari Pierre Bourdeou dengan konsep kunci habitus dan ranah, digunakan untuk menganalisis pemahaman dan pemaknaan serta kontestasi-kontestasi yang terjadi dalam proses integrasi sosial.

Zalbi Ikhsan

Kenyataan menunjukkan, bahwa dengan adanya motivasi agama dan budaya diantara mereka sekaligus menjadi potensi positif untuk mendorong proses integrasi sosial. Mereka mampu secara tepat dapat menempatkan perbedaan asal usul daerah dan paham aliran agama yang dianut, ataupun bidang usaha dan pekerjaan yang berbeda, tidak sebagai dikotomi yang harus dipertentangkan, melainkan sebagai suatu dualisme yang berjalan sejajar dan beriringan untuk saling melengkapi dalam sisi kelebihan dan kekurangannya. Karena itu kekuatan - kekuatan integratif yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai media, sarana dan wahana sosialisasi guna mencapai derajat integrasi sosial yang diinginkan, yakni kehidupan berdampingan secara damai dan harmonis.

Kesimpulan dari studi ini adalah integrasi sosial diantara kelompok etnis yang ada kini telah tercapai, yakni telah terbina dan terciptanya kehidupan berdampingan dan bertetangga secara rukun, damai dan harmonis. Namun sekalipun tercapainya integrasi sosial tersebut, tidak sekaligus berarti tidak adanya benih-benih konflik atau potensi konflik. Benih-benih konflik atau potensi konflik, terutama dikarenakan perbedaan dalam mata pencaharian, bidang usaha dan penguasaan lahan pertanian yang mencolok, cukup potensial dan masih perlu diwaspadai dimasa-masa mendatang.

Usman (1995)

Usman (1995) dalam tulisannya tentang integrasi sosial. Integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui sebuah proses, melalui interaksi dan komunikasi yang intensif. Dalam hal ini pihak yang terlibat konflik berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif.

Mas’oed (1991)

Mas’oed (1991:2) menjelaskan secara umum integrasi bisa diberi arti sebagai kondisi atau proses mempersatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling terpisah. Proses ini berjalan melalui tahapan yang dilalui, merupakan landasan bagi terselenggarakannya tahapan berikutnya. 

Karl Deutch (1957) 

Karl Deutch (1957) mengatakan integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung secara sukarela. Ia memandang integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya terpisah kemudian mampu menciptakan hubungan-hubungan independensi dan secara bersama menghasilkan unsur-unsur suatu sistem yang tidak bisa mereka hasilkan ketika mereka saling terpisah. 

Durkheim 

Durkheim (Johnson, 1986:181-188) dalam studi tentang integrasi sosial menjelaskan bahwa integrasi sosial dapat terwujud jika terjadi saling ketergantungan antara bagian yang terspesialisasikan. Dalam hal ini solidaritas didasarkan atas kesamaan dalam kepercayaan dan nilai saling tergantung secara fungsional dalam masyarakat yang heterogen. Kesamaan dalam kepercayaan dan nilai ini akan memberi kesadaran kolektif untuk menciptakan kesatuan. Durkheim (dalam David, 1972:382) membedakan integrasi sosial atas dua kategori. Pertama, integrasi normatif dalam perspektif budaya. Integrasi ini menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai dan kepercayaan membimbing masyarakat dalam mencapai sukses. Kedua, integrasi fungsional dengan menekankan pada solidaritas organik, yaitu solidaritas yang terbentuk melalui relasi saling tergantung antara bagian atau unsur yang tergantung dalam masyarakat. Dalam hal ini Durkheim menekankan pembagian kerja dengan tidak saja mempertimbangkan faktor ekonomi melainkan juga faktor moral. 

Cooley 

Sementara itu Cooley (David 1972:381) membedakan integrasi atas dua kategori. Pertama, integrasi normatif, merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif yaitu, komunikasi efektif hanya dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sikap yang saling tergantung dan mau diajak kerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional, hanya akan terwujud bila anggota sungguh menyadari fungsi dan perannya dalam kebersamaan itu. Lebih jauh Karsidi (1998:116) menggambarkan beberapa syarat bagi masyarakat heterogen untuk dapat mencapai integrasi. Dikatakan di sini bahwa integrasi hanya terjadi bila pertama, anggota masyarakat merasa tidak dirugikan bahkan keuntungan akan diperoleh lebih besar. Kedua, adanya penyesuaian paham tentang norma. Artinya tantangan dan bagaimana harus bertingkah laku untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Ketiga, norma yang berlaku harus konsisten, untuk membentuk suatu struktur yang jelas. Integrasi sosial terjadi harus melalui tiga tahapan. Pertama, akomodasi, merupakan upaya para pihak yang berbeda pendapat atau bertentangan untuk mencari pemecahan masalah atau upaya mempertemukan perbedaan atau pertentangan atau upaya menyelesaikan perbedaan melalui koordinasi. Kedua, Koordinasi merupakan perwujudan suatu bentuk kerjasama. Ketiga, asimilasi atau akulturasi merupakan kontak kebudayaan yang berlainan atau pertemuan dua kebudayaan yang lebih baik. Dalam membangun nilai harmoni akan ditemukan tahapan ini atau dengan kata lain terdapat relasi saling tergantung sehingga masing-masing pihak menyadari perannya. Dalam proses ini tidak ada in group (kita) dan out group (mereka), keduanya memiliki peran yang sama dalam membangun kehidupan yang lebih baik.

William F. Ogburn dan Mayer Nimkof

Menurut William F. Ogburn dan Mayer Nimkof, syarat terwujudnya integrasi sosial adalah sebagai berikut:

  • Anggota-anggota masyarakat merasa berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan di antara mereka.
  • Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (konsensus) bersama mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam hal-hal yang dilarang menurut kebudayaan
  • Norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijadikan secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat


Sunyoto Usman (1995)

Sunyoto Usman (1995), menyebutkan integrasi adalah suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling memelihara dan menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik. Dalam konteks tersebut integrasi bukanlah untuk menghilangkan diferensiasi, karena yang terpenting adalah kesadaran untuk memelihara dan menjaga keseimbangan untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis. Menurut Usman, integrasi merupakan bentuk kontradiktif dari konflik, namun meskipun demikian integrasi dan konflik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Karena integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif. Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang relatif kohesif. Prasyarat integrasi yang ditawarkan oleh Usman, pertama, kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yaitu bersifat fundamental. Kedua, saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Memang diakui bahwa akibat adanya perbedaan dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi dapat melibatkan terjadinya stratifikasi sosial berdasarkan kelas kaya, menengah, dan miskin. Akan tetapi dengan model pembangunan masyarakat yang menekankan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah kemungkinan tumbuhnya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin, karena masing-masing kelompok berpendapatan terspesialisasi secara fungsional, sehingga ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan.

Kartasasmita (1997)

Masyarakat sebagai konsep sosial menggambarkan berkumpulnya manusia atas dasar sukarela, yang tidak harus terjadi secara fisik tetapi juga berupa keterikatan dan keterkaitan batiniah (Kartasasmita, 1997:7).

Ginandjar

Dalam konsep masyarakat yang demikian ini ada makna kesatuan antara kebinekaan atau keanekaan (diversity) dan kekhasan atau kekhususan (uniquenness). Menurut Ginandjar “apa yang menjadi kesamaan (what is Common to all) merupakan pertanyaan mendasar setiap kali terjadi hubungan yang saling bergantung atau kerjasama yang berintikan situasi simbiosis yang mutualistis. Situasi simbiosis yang mutualistis itu akan dapat tercipta bila elemen-elemen sosial bisa disatukan hingga membentuk suatu kekuatan yang bersifat sinergis. Kekuatan sinergis itu lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara intensif di dalam dan diantara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat, apakah itu keluarga, kelompok, asosiasi, golongan masyarakat (etnis dan agama) dan sebagainya. Dalam hal ini proses interaksi sosial baik yang vertikal maupun horizontal menjadi penting. Pada interaksi vertikal antara pemerintah dan masyarakat harus dikembangkan dari poros “kekuasaan” menjadi poros “pemberdayaan”. Interaksi ini harus dikembangkan menjadi interaksi dialogis. Sedangkan interaksi horizontal harus dikembangkan menjadi interaksi solidaritas dan kemitraan. Dengan terciptanya situasi demikian maka diharapkan tidak ada lagi dikotomi yang membedakan antara penduduk asli dan penduduk pendatang.

Saidin Ernas, Zuly Qodir

Pertama, agama dan budaya berperan penting dalam melahirkan norma-norma sosial yang harmonis yang mempengaruhi praktik-praktik sosial individu hingga pada arena sosial yang lebih luas seperti politik dan ekonomi. Kedua, proses pelembagaan nilai dan norma didukung oleh pemerintah dan kekuatan civil society yang memiliki misi yang sama untuk mempromosikan harmoni dan perdamaian. Namun tulisan ini juga mengingatkan bahwa isu-isu konflik, seperti separatismme dan radikalisme agama, bila tidak ditangani dengan hati-hati bisa merusak integrasi sosial

Talcott Parson (1927-1979)

Secara sosiologis teori integrasi sosial merupakan bagian dari paradigma fungsionalisme struktural yang diperkenalkan Talcott Parson (1927-1979). Paradigma ini mengandaikan bahwa pada dasarnya masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka dalam keseimbangan (ekuilibrium). Hal ini tercermin dari dua pengertian dasar integrasi sosial yaitu, pertama, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan kedua, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta sebuah tertib sosial (Ritzer, 2009:258).

Biku Parekh (2008)

Biku Parekh (2008:84-87) menyebutkan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat hanya dapat tercipta bila terpenuhi tiga prasyarat utama. Pertama, adanya kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (moral contract). Kedua, sebagian terhimpun dalam berbagai unit sosial, saling mengawasi dalam aspek-aspek sosial yang potensial. Hal ini untuk menjaga terjadinya dominasi dan penguasaan dari kelompok mayoritas atas minoritas. Ketiga, terjadi saling ketergantungan diantara kelompok-kelompok sosial yang terhimpun di dalam suatu masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Kontrak moral (a moral contract) adalah ketaataan terhadap nilai- nilai yang menjadi platform bersama dalam masyarakat, sehingga membentuk semacam kepemilikaan bersama atas nilai-nilai tersebut. Ia menjadi titik temu perbedaan yang harus ditaati untuk menjamin tegaknya perdamaian. Ketaatan pada moral contract akan menempatkan masyarakat pada kondisi yang equal, sebab masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dalam kehidupan sosial.

Ralf Dahrendrof

Proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat tentu tidak menafikkan adanya konflik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari fenomena sosial dan perubahan. Sebab konflik, seperti yang dijelaskan Ralf Dahrendrof adalah fenomena sosial yang selalu hadir (inherent omni presence) dalam setiap masyarakat manusia (Ritzer, 2009). Dengan kata lain konflik yang hebat sekalipun memiliki peluang untuk dapat dipadamkan atau didamaikan dengan mengkombinasikan dua pola sekaligus. Pertama, membangun konsensus yang mempertemukan “kepentingan-kepentingan” kelompok yang bertikai tersebut kedalam sebuah tatanan kekuasaan yang bisa mengurangi perbedaan (Maswadi Rauf, 2000:15. Kedua, melakukan usaha yang serius untuk mendorong penguatan kembali nilai-nilai kebersamaan yang disebut Parekh (2008:87) sebagai “kontrak moral” antar kelompok dan individu dalam sebuah masyarakat majemuk.

Pierre Bourdieu (1930-2002)

Pierre Bourdieu (1930-2002), menawarkan konsep habitus dan field (ranah) untuk menganalisis kontestasi nilai dan norma dalam ruang sosial yang luas. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Menurut Bourdieu (1977:72), individu menggunakan habitus untuk berhubungan dengan realitas sosial karena ia telah dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial. Seperti konsepsi tentang benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna, terhormat-terhina (Mohammad Adib, 2012:97). Adapun field (ranah) merupakan jaringan relasional antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran indvidual. Oleh karena itu ranah bukan ikatan intersubyektif antara individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu. Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya (Ritzer dan Goodman, 2010:582-590). Praksis dari kerangka konseptual Bourdieu ini memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena harmoni sosial yang tebentuk pada masyarakat Fakfak. Sebab sebuah masyarakat yang teratur dan harmonis merupakan perwujudan dari adanya sistem nilai yang dianut oleh masyarakat yang cenderung menghindari konflik dan adanya ruang sosial yang mendukung untuk terwujudnya kondisi tersebut.

Mac Iver dan Charles H. Page

Kelangsungan kehidupan masyarakat pedesaan sangat dipengaruhi oleh kekuatan ikatan sosial, larangan dan kewajiban yang digariskan sebagai adat istiadat. Derajat ikatan sosial dapat diukur dengan seberapa kuat nilai-nilai solidaritas dan sentimen masyarakat. Jika solidaritas dan sentimen diakui secara terbatas, lokalitas (daerah asal), maka kehidupan masyarakat disebut community sentiment. Oleh Mac Iver dan Charles H. Page, unsur-unsur community sentiment antara lain adalah:

1. Seperasaan: Unsur seperasaan akibat bahwa seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut, sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai “kelompok kami”, “perasaan kami” dan lain sebagainya. Perasa-an demikian terutama timbul apabila orang-orang tersebut mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Unsur seperasaan tersebut harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan dengan “altruism”, yang lebih me-nekankan pada perasaan solider dengan orang lain. Pada unsur se-perasaan, kepentingan-kepentingan si individu diselaraskannya dengan kepentingan kepentingan kelompoknya, sehingga dia merasakan kelompoknya sebagai struktur sosial masyarakatnya.

2. Sepenanggungan: Setiap individu sadar akan perannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa perannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa peranannya tadi dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri.

3. Saling memerlukan: Individu yang tergabung dalam masyarakat se-tempat merasakan dirinya tergantung pada “community”nya yang me-liputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Kelompok yang tergabung dalam masyarakat setempat tadi, memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik seseorang, misalnya atas makanan dan pe-rumahan. Secara psikologis, individu akan mencari perlindungan pada kelompoknya apabila dia berada dalam ketakutan, dan lain sebagainya.

Cooley 

Latar belakang perpaduan beberapa orang atau kelompok suku atau keturunan di pedesaan ialah karena didorong oleh upaya untuk memenuhi kebutuhan yang sama dari sekumpulan individu, dan perasaan senasib bahwa mereka dapat memenuhi hajat kehidupan masing-masing. Situasi ini oleh Cooley disebut community atau masyarakat setempat (selanjutnya di-sebut komunitas). Menurut Cooley, identitas sosial komunitas adalah (1) anggota-anggota kelompok secara fisik berdekatan satu sama lain; (2) jumlah anggotanya kecil; (3) kelanggengan hubungan antar anggota-anggota ke-lompok; dan (4) keakraban relasi sosial.

R. William Lidle

Menurut R. William Lidle, integrasi masyarakat yang kokoh akan terjadi apabila :

1. Sebagian besar anggota suatu masyarakat sepakat tentang batas – batas tertitorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik.
2. Sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan – aturan dari proses – proses politik dan sosial yang berlaku bagi seluruh masyarakat di seluruh wilayah negara tersebut.

Mustifa

Faktor bahasa telah menjadi faktor integrasi sosial masyarakat. Selain itu proses Amalgamasi yang sudah lama terjadi sehinggga menghasilkan warga-warga dari etnik campuran yang telah menyatu dengan adat istiadat setempat. Sedangkan implikasi konflik terhadap ketahanan wilayah sangat meresahkan warga masyarakat. Setelah adanya tindakan Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Konflik, maka situasi keamanan dapat stabil kembali. Dengan demikian stabilitas keamanan tetap terjaga dan ketahanan wilayah mampu dipertahankan. Olehnya itu toleransi untuk saling menghormati suatu kesepakatan yang telah dibuat tetap terjaga serta dapat mengendalikan diri untuk tidak saling mendendam. Penyelesaian konflik merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi para tokoh adat serta tokoh masyarakat dengan tidak memberi peluang kepada pihak luar untuk mencampuri kejadian ini. Demokrasi dan kesepakatan memberi arti tersendiri bagi warga masyarakat dalam mencapai mufakat untuk mempertahankan ketahanan wilayahnya.

Hicks & Miller 

Secara sederhana, perdamaian dapat diartikan sebagai antitesis dari peperangan dan berakhirnya konflik kekerasan. Akan tetapi, menurut Hicks (dalam Fountain 1999) perdamaian bukan semata- mata tidak adanya kekerasan atau kekerasan terang-terangan (overt violence), tetapi juga mencakup wujud keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Artinya, perdamaian mengandung makna lebih dari tidak ada perang dan permusuhan (Miller 2005). Perdamaian merupakan suatu proses, memiliki banyak bentuk, dan perjuangan yang tidak pernah selesai untuk mentransformasikan kekerasan (Fisher et al. 2007) agar perdamaian selalu berada dalam nilai-nilai kemanusian yang tertinggi (Rummel 1981).

Galtung (1967)

Galtung (1967:12-17) membagi perdamaian ke dalam dua kategori, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif, dengan merujuk kepada jenis kekerasan (kekerasan budaya, struktur dan kekerasan langsung). Perdamian negatif didefinisikan sebagai keadaan yang tidak terjadi kekerasan kolektif yang terorganisasi (absence of organized collective violence). Sementara itu, perdamaian positif didefinisikan sebagai keadaan adanya nilai-nilai yang secara relatif telah disepakati oleh masyarakat dunia, yaitu wujud kerja sama, bebas dari ketakutan, ekonomi tumbuh dan berkembang, tidak adanya eksploitasi, persamaan, keadilan, bebas bertindak, pluralisme, dan dinamisme. Lebih jauh, Ukaid (2010) mendefinisikan perdamaian positif sebagai keadaan yang melampaui fase kesepakatan damai dan berakhirnya perang. Hal itu ditandai dengan harmoni sosial, penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan adanya pembangunan sosial dan ekonomi yang didukung oleh lembaga-lembaga politik yang mampu mengurus perubahan dan menyelesaikan sengketa tanpa menggunakan konflik kekerasan. Sementara itu, Askandar (2006) menyatakan bahwa perdamaian positif adalah wujud kondisi aman dan damai di mana hak individu dan kelompok dihormati serta adanya saluran-saluran yang sesuai untuk menyampaikan pendapat dan pandangan. Kemudian, keadilan dipertahankan dan diperjuangkan, serta terdapat mekanisme, peraturan, prosedur, dan strategi untuk mengurus dan menyelesaikan isu-isu konflik. Lebih jauh lagi, Castro dan Galace (2008) menyatakan bahwa perdamaian positif adalah adanya hubungan yang adil dan tidak eksploitatif, baik antara sesama manusia maupun terhadap ekologi.

Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses berikut:

1.Proses Interaksi

Proses interaksi merupakan proses paling awal untuk membangun suatu kerja sama dengan ditandai adanya kecenderungan-kecenderungan positif yang dapat melahirkan aktivitas bersama.

2.Proses Identifikasi

Proses interaksi dapat berlanjut menjadi proses identifikasi manakala masing-masing pihak dapat menerima dan memahami keberadaan pihak lain seutuhnya. Pada dasarnya, proses identifikasi adalah proses untuk memahami sifat dan keberadaan orang lain.

3. Kerjasama (Kooperation)

Menurut Charles H. Cooley mengatakan bahwa kerja sama timbul apa bila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama,kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna.

4.Proses Akomodasi

Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan,sehingga lawan tersebut kehilangan kepribadiannya

5.Proses Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

6.Proses Integrasi

Proses integrasi merupakan proses penyesuaian antar unsur masyarakat yang berbeda hingga membentuk suatu keserasian fungsi dalam kehidupan. Dalam integrasi sosial, terdapat kesamaan pola pikir, gerak langkah, tujuan dan orientasi serta keserasian fungsi dalam kehidupan. Adanya hal ini dapat mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat.

Daftar Rujukan

Bourdieu, Pierre 1991. Language and Symbolic Power. Massachusetts: Harvard University Press

Ernas, Saidin. 2006. “Perjanjian Malino dan Penyelesaian Konflik Mauluku”. Tesis Magister pada Program Ilmu Politik Universitas Indonesia

Parekh, Biku.2008. A New Politics of Identity. New York: Palgrave Macmillan

___________2008. Rethinking Multiculturalism, Keragaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius

Rizer, George dan Goodman, Dauglas J. 2009 Teori Sosiologi; dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Moderen (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Deutsch, Karl. 1957. Political Community and The North Atlantic Area. Dalam Mohtar Ma’oed 1992. Handouts. Dalam hubungan Internasional PS Ilmu Sosial dan Politik Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Johnson,  Doyle  Paul.  1986.  Teori  Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Diindonesiakan oleh Robert MZ Lawang.  Jakarta: Penerbit Gramedia.

Mas’oed, Mohtar. 1991. Politik dan Pemerintahan di Asia Tenggara. PS Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

Robertson, Roland. 1988. Agama dalam Analisa dan Intrepetasi Sosiologis. Penerjemah Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: CV Rajawali.

Sunyoto, Usman. 1995. Integrasi dan Ketahanan Nasional. Sumbangan sosial terhadap ketahanan nasional, penyunting: Ichlasul Amal dan Armaidy Armani. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Saidin Ernas, Zuly Qodir1. Agama dan Budaya dalam Integrasi Sosial (Belajar dari Pengalaman Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat). Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.2, November 2013.

Mustifa. Konflik dan integrasi sosial antara etnik Ambon dengan etnik Muna serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah :: Studi kasus di Kecamatan Katobu Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Dalam http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=28476.

Fischer, D. 2007. “Peace as a Self-regulating Process”, dalam Handbook of Peace and Confl ict Studies. London: Routledge.

Miller, Hristophere. 2005. A glossary of Terms and Concepts In Peace and Conflict studies. Ethopia: Upeace Africa Programme.

Ukaid. 2010. Building Peaceful States and Societies. London, UK: Department for International Development.




Post Advertisement
Post Advertisement