Kejahatan dalam Masa Kerajaan
Kamis, April 11, 2019
Wacana kejahatan pada masa kerajaan dapat ditemukan dalam makalah Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno, tulisan Arkeolog Boechari yang menyebutkan kejahatan peram-pokan, perbanditan, perkecuan dan sejenisnya sudah dialami oleh masyarakat Indonesia pada masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan prasasti dan undang-undang yang terkait dengan hukuman bagi pelaku kejahatan, sehingga dapat ditegaskan bahwa masyarakat kuno bukanlah masyarakat yang senantiasa aman, tentram dan damai serta jauh dari segala kejahatan. Hal ini tercantum dalam naskah purwwadhigama yang menyebut-kan 18 jenis kejahatan yang disebut Astadasawy-awahara yaitu tan kasahuranin pihutan (tidak membayar kembali hutang), tan kawehanin patu-wawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama/persengketaan), karuddhanin huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak mem-beri upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual beli), wiwadanin pinanwakan mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin wates (persengketaan mengenai batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik/warisan), totohan prani/totohan tan prani (taru-han dan perjudian) (Boechari, 1986).
Selain itu keberadaan relief karmawibangga di Candi Borobudur juga mencerminkan hukum sebab akibat. Bahkan sejarah berdirinya Singasa-ri diwarnai dengan kekerasan. Kerajaan Singasari didirikan seorang perampok bernama Ken Arok. Sebelum menjadi raja Singasari Ken Arok meru-pakan seorang perampok. Ken Arok mempunyai kekuatan fisik yang luar biasa, sehingga lantas menjadi prajurit di Tumapel. Setelah Ken Arok meminta pada Mpu Gandring untuk membuat keris lantas ia membunuh pemimpin Tumapel dan mempersunting Ken Dedes. Konon keris yang dibuat Mpu Gandring menewaskan anak-anak Ken Arok dalam mempertahankan dan memperebutkan tahta penguasa di Singasari. Kita Pararaton menyebutkan kang amuter bhumi Jawa bahwa Ken Arok yang mengubah keadaan di Jawa. Ken Arok kecil ditemukan oleh seorang pencuri Lembong di Pabajangan (kuburan anak-anak) karena hidup di lingkungan dunia bawah. Riwayat hidup Ken Arok penuh dengan pelarian, melakukan rentetan kejahatan seperti pencurian, penyamunan, pemerkosaan dan lain-lain. Selama pelarian ia mendapat perlindungan dari tukang judi, kepala desa, pertapa, brahmana, empu dan sebagainya (Kartodirdjo, 1982).
download: berkas
Sumber: A. Josias Simon Runturambi. Makna Kejahatan dan Perilaku Menyimpang dalam Kebudayaan Indonesia. Dalam ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017. Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI, Lulusan S3 Antropologi FISIP UI, Email: simonrbi@yahoo.com
Posting Komentar